Zeus Bahasa Gaul

Zeus Bahasa Gaul

Menyebabkan Penyalahartian dan Kesalahpahaman

Berbeda dengan bahasa Indonesia baku yang memiliki pedoman resmi, seperti Kamus Umum Bahasa Indonesia, bahasa gaul tidak memiliki aturan tetap untuk penafsirannya. Setiap istilah dalam bahasa gaul dapat dipahami secara berbeda oleh individu yang berbeda pula. Hal ini bisa menyebabkan kesalahpahaman, terutama di antara orang-orang yang tidak mengikuti perkembangan bahasa gaul.

Sebagai contoh, kata "anjay" sering dipandang sebagai bentuk olok-olok terhadap hewan, anjing, yang bisa dianggap merendahkan seseorang. Namun, dalam praktiknya, kata ini lebih umum digunakan untuk mengekspresikan rasa kagum atau terkesan terhadap suatu peristiwa.

Dampak Positif Penggunaan Bahasa Gaul

Penggunaan bahasa gaul memiliki sejumlah manfaat, di antaranya:

Mengancam Eksistensi Bahasa Indonesia

Saat ini, bahasa gaul seolah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, terutama di kalangan generasi muda. Sering kali, mereka lebih memilih menggunakan bahasa gaul daripada bahasa Indonesia, yang dianggap kuno. Jika keadaan ini terus berlanjut, ada kemungkinan bahasa Indonesia akan semakin dilupakan oleh generasi muda, bahkan bisa saja mengalami kepunahan karena tergeser oleh dominasi bahasa gaul.

Menyulitkan Penggunaan Bahasa yang Tepat dalam Situasi Formal

Bahasa gaul umumnya digunakan dalam konteks nonformal, seperti saat berbincang dengan teman. Namun, dalam situasi formal seperti ketika seorang siswa berbicara dengan guru, penggunaan bahasa yang baik dan benar sangat penting.

Jika seseorang terbiasa menggunakan bahasa gaul, ia mungkin akan kesulitan untuk beralih ke bahasa Indonesia yang benar dalam situasi formal. Ini bisa menjadi masalah serius. Jika seseorang tidak mampu menyesuaikan bahasanya dengan konteks yang tepat, ia dapat dianggap kurang sopan oleh orang lain.

Contohnya, jika seorang siswa berkata kepada gurunya, "Ini tugas Matematika gue, Bu. Cusss.. dinilai ya, Bu," atau "BTW, Bu, mau ikut ke koperasi? Sekalian ambil spidol nih, Bu, kuy!", hal ini bisa dianggap tidak sopan. Walaupun siswa merasa akrab dengan gurunya, tetap seharusnya bahasa Indonesia yang formal digunakan dalam lingkungan sekolah.

Meningkatkan Kreativitas

Bahasa gaul dapat merangsang kreativitas. Karena sifatnya yang nonformal, masyarakat memiliki kebebasan untuk menciptakan, mengubah, atau mengkreasikan kosakata baru. Ini berbeda dengan bahasa Indonesia formal, di mana perubahan atau penambahan kosakata baru tidak begitu mudah dilakukan. Dengan kebebasan ini, masyarakat menjadi lebih kreatif dalam menciptakan istilah-istilah baru yang mungkin belum pernah terdengar sebelumnya. Seiring dengan perkembangan teknologi, semakin banyak kosakata gaul yang muncul dari inovasi masyarakat, sehingga memperkaya khazanah bahasa Indonesia.

Menambah Keakraban dengan Teman Sebaya

Bahasa gaul juga dapat mempererat hubungan antara teman. Karena sifatnya yang lebih santai, penggunaan bahasa gaul dalam percakapan sehari-hari terasa lebih akrab dibandingkan bahasa formal. Contohnya, kalimat "ah, gue lagi mager, nih" lebih umum digunakan di antara teman-teman dibandingkan dengan "saya sedang malas melakukan apa-apa," yang terdengar terlalu kaku.

Efisiensi dalam Percakapan Sehari-Hari

Banyak kosakata dalam bahasa gaul yang merupakan singkatan atau akronim dari frasa dalam bahasa Indonesia. Penggunaan singkatan ini bertujuan untuk membuat percakapan lebih efisien. Misalnya, kata "gercep" yang berasal dari "gerakan cepat," "halu" untuk "halusinasi," "mager" yang berarti "malas gerak," dan "baper" yang merupakan singkatan dari "bawa perasaan." Istilah-istilah ini memudahkan komunikasi dalam kehidupan sehari-hari.

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Bahasa gaul LGBT, ucapan LGBT atau bahasa gaul gay adalah leksikon bahasa gaul yang umum digunakan oleh orang LGBT. Hal ini telah digunakan dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Inggris dan bahasa Jepang, sejak awal 1900-an dengan maksud agar komunitas LGBT dapat mengidentifikasi mereka sendiri dan berbicara dalam kode yang ringkas dan cepat kepada para LGBT lain.[1][2]

Templat:Slang seksual

Dampak Negatif Penggunaan Bahasa Gaul

Meski memiliki sejumlah manfaat, penggunaan bahasa gaul juga dapat menimbulkan dampak negatif, antara lain:

Nikmati Serunya Bermedia Sosial dengan Paket Teng-Go dari AXIS

Ingin menjelajahi dunia maya dan tetap up to date dengan singkatan bahasa gaul yang sedang tren? Kamu bisa pakai

dari AXIS untuk mengeksplorasi dunia media sosial secara bebas, dimana paket ini telah dilengkapi dengan adanya fitur play dan pause yang bisa dikontrol sesuai kebutuhan. Paket Teng-Go dari AXIS, tersedia dalam 3 pilihan dengan masa aktif masing-masing 5 hari, yaitu:

Untuk bisa membeli Paket Teng-Go dari AXIS ini, pastikan kamu sudah punya SIM AXIS, ya! Tetapi kalau belum punya, kamu bisa melakukan pembelian kartu perdana dan eSIM AXIS secara online di

. Yuk, jadilah bagian dari serunya bersosial media dengan AXIS!

Bahasa Gaul atau Bahasa Indonesia gaul adalah laras bahasa informal dari bahasa Indonesia yang muncul pada dekade 1980-an dan terus berkembang hingga saat ini. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bahasa gaul sebagai ‘dialek bahasa Indonesia nonformal yang digunakan oleh komunitas tertentu untuk pergaulan’. Kosakata bahasa ini berasal dari berbagai sumber, seperti dialek Indonesia Jakarta, bahasa prokem, bahasa daerah, dan bahasa asing. Selain itu, bahasa gaul juga menciptakan kosakata baru yang terbentuk melalui kaidah-kaidah tertentu. Dasar dari Bahasa gaul ini adalah bahasa Betawi. Awalnya, bahasa ini digunakan di wilayah Jakarta, namun seiring berjalannya waktu, bahasa ini menyebar ke seluruh Indonesia melalui media massa, terutama televisi dan internet. Bahasa gaul menggantikan penggunaan bahasa prokem yang sebelumnya populer pada tahun 1970-an. Selain mempertahankan pengaruh sejumlah kosakata dari bahasa prokem, ragam Bahasa Indonesia gaul ini juga menerima pengaruh dari bahasa Binan dan bahasa daerah di Indonesia.[4][5][6]

Bahasa Indonesia saat ini juga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap banyak bahasa daerah di Indonesia. Hampir setiap daerah di Indonesia memiliki variasi bahasa Indonesia gaul yang khas.

Bahasa ini terbentuk melalui proses pencampuran antara bahasa Indonesia dengan bahasa daerah, yang kemudian menghasilkan bahasa baru yang digunakan dalam pergaulan sehari-hari. Proses ini juga mempermudah penyerapan istilah-istilah dari bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia.

Laras formal dan laras informal dalam bahasa Indonesia sesungguhnya tidak memiliki nama resmi (dikeluarkan pemerintah), karena pemerintah Indonesia hanya mengakui satu bahasa Indonesia, yakni bahasa Indonesia baku.[7] Meskipun demikian, penggunaan istilah bahasa baku untuk bahasa Indonesia formal dan bahasa gaul untuk bahasa Indonesia informal sudah banyak dipakai baik oleh masyarakat umum maupun akademisi dalam negeri[4] dan luar negeri.[8]

Nama "bahasa gaul" ditengarai diperkenalkan pertama kali oleh Debby Sahertian. Penamaan ini terinspirasi dari fenomena maraknya tenda gaul ketika Indonesia mengalami Krisis Moneter pada penghujung dasawarsa 1990-an. Tenda gaul sering didatangi orang-orang untuk bergaul, mengobrol atau merumpi dengan sahabat dan teman-teman. Penamaan ini juga digunakan oleh Debby untuk menamai kamus bahasa percakapan karyanya Kamus Gaul yang sebenarnya sebagian besarnya merupakan bahasa Binan.[9]

Kata "gaul" sendiri meski telah sejak lama menjadi bagian dari kamus bahasa Indonesia, dalam konteks ini, kata gaul diberikan makna yang melebihi maknanya aslinya; ia tidak hanya berarti semacam berinteraksi atau bersosialisasi, melainkan juga terasosiasi dengan citra ramah, supel, modern, canggih dan urban.[10]

Bahasa gaul sebelumnya lebih dikenal sebagai bahasa prokem.[11] Oleh sebab itu, terdapat sebagian kalangan yang masih menyebut bahasa gaul sebagai bahasa prokem, khususnya generasi yang lebih tua, walau bentuknya sudah sedikit banyak berubah dari bahasa prokem yang dikenal pada 1970-an.[12] Selain disebut bahasa gaul dan bahasa prokem, sebagian kalangan kadang menyebut bahasa ini sebagai "bahasa Jakarta" sebagaimana pertama kali muncul dan digunakan di wilayah Jakarta.[13][14][15] Nama-nama lain yang mungkin juga digunakan untuk merujuk bahasa ini meliputi bahasa Indonesia gaul, bahasa Indonesia informal, dan bahasa Indonesia (dialek) Jakarta.[7][5]

Asal usul bahasa gaul dari bahasa ini belum tentu jelas kapan bahasa gaul ini pertama kali digunakan pada percakapan sehari-hari. Namun, penggunaan bahasa gaul di Indonesia dimulai antara tahun 1860 dan 1870. Menurut Ben Anderson, bahasa Indonesia berkembang ke dua arah yang berbeda, yakni bahasa Indonesia baku dan bahasa Indonesia gaul. Ia mengibaratkan bahasa baku sebagai bahasa krama yang "tinggi" dan bahasa gaul sebagai bahasa ngoko yang "rendah". Bahasa Indonesia yang "rendah" ini mengambil banyak pengaruh dari Bahasa Betawi. Penjenjangan bahasa yang diglosik ini sesungguhnya merupakan penggunaan dua dialek yang berbeda dari satu bahasa induk, yaitu bahasa Melayu.[16]

Pengaruh bahasa Betawi terhadap bahasa gaul tidak terlepas dari kehadiran bahasa ini dalam beragam saluran budaya populer Indonesia. Terpaparnya masyarakat Indonesia dengan tayangan-tayangan berbahasa Betawi pada 1970-an menjadi salah satu faktor yang mendukung perkembangan dan penggunaan bahasa gaul secara nasional. Salah satu karya yang paling berkontribusi adalah film-film Benyamin Sueb yang mengangkat budaya dan bahasa Betawi sebagai bagian dari budaya populer nasional.[17][18] Pada 1990-an, karya perfilman penting lainnya yaitu Si Doel Anak Sekolahan yang juga dibawakan dengan bahasa Betawi. Bahasa Betawi di sini kemudian bukan lagi milik orang Betawi saja, melainkan telah menjadi ekspresi kebahasaan bagi orang-orang Jakarta secara umum, terlepas dari suku mana mereka berasal.[6] Banyak orang keliru menyamakan antara bahasa Betawi dan "bahasa gaul" Jakarta karena kedekatan keduanya. Bahasa Betawi dan bahasa gaul merupakan dua bahasa yang berbeda dan memiliki identitas penutur yang berbeda pula. Dikatakan bahwa orang Betawi di Jakarta mampu beralih dari bahasa Betawi ke bahasa gaul ketika berhadapan dengan penutur non-Betawi. Hal ini menandakan adanya batasan dan perbedaan antara keduanya sekalipun merupakan bahasa yang berdekatan.[7]

Meski bahasa gaul menggantikan bahasa prokem, bahasa prokem masih memberikan pengaruh signifikan bagi perbendaharaan bahasa gaul. Awal mula bahasa prokem dapat ditelusuri hingga paruh kedua dasawarsa 1950-an yang banyak dituturkan di kalangan bramacorah, preman dan anak jalanan. Pada dasawarsa berikutnya, bahasa prokem mulai populer di kalangan pemuda perkotaan ibukota. Puncaknya terjadi pada tahun 1970-an ketika Teguh Esha, seorang pengarang dan wartawan, menerbitkan novelnya Ali Topan Anak Jalanan (1972) dan sekuelnya Ali Topan Detektip Partikelir (1973) yang digandrungi kalangan muda waktu itu. Dalam novelnya, Teguh Esha melampirkan senarai kosakata bahasa prokem yang dapat digunakan selayaknya kamus.[19][20] Film populer seperti Catatan Si Boy juga semakin membuat bahasa prokem-bahasa gaul dikenal secara nasional.[21]

Pada 1980-an hingga 1990-an, ragam bahasa non-baku yang agak berbeda mulai digunakan oleh kalangan kelas menengah Jakarta. Bahasa ini kemudian diberi nama 'bahasa gaul'. Sementara itu, unsur-unsur bahasa prokem mulai melebur ke dalam perbendaharaan bahasa gaul.[22] Di sisi lain, bahasa Binan yang dituturkan oleh kalangan pria homoseksual dan waria juga menyumbangkan pengaruh besar terhadap bahasa gaul nasional. Pasca berakhirnya Orde Baru, meresapnya bahasa Binan ke bahasa Indonesia gaul didorong dari tampilnya bahasa ini di berbagai media massa, khususnya televisi. Terbitnya Kamus Gaul oleh Debby Sahertian yang memuat perbendaharaan bahasa Binan juga merupakan lompatan besar yang kian mendorong masuknya banyak kosakata Binan ke dalam perbendaharaan bahasa gaul di tataran nasional.[23][24]

Bahasa gaul menjadi umum digunakan di berbagai lingkungan sosial bahkan dalam media-media populer seperti TV, radio, dan dunia perfilman nasional. Seringkali pula bahasa gaul digunakan dalam bentuk pengumuman-pengumuman yang ditujukan untuk kalangan remaja oleh majalah-majalah remaja populer. Bahasa gaul kemudian menjadi hal tidak terpisahkan dari budaya pop Indonesia dan identitas pemuda perkotaan di Indonesia. Karena jamaknya, bahasa gaul (di samping bahasa daerah masing-masing) merupakan bahasa utama yang digunakan untuk komunikasi lisan oleh setiap orang dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia, kecuali untuk keperluan formal atau acara resmi. Karena itu pula, seseorang mungkin akan merasa canggung untuk berkomunikasi secara verbal dengan orang lain menggunakan bahasa Indonesia formal.[22][10]

Sebagian leksikon dalam bahasa gaul masih berhubungan dengan kata asalnya dari bahasa baku. Dalam hal ini, penutur dalam menebak arti sebuah kata bahasa Indonesia gaul dari kemiripannya dengan bahasa Indonesia baku. Perubahan bunyi dapat berupa pengguguran bunyi, peluluhan bunyi, monoftongisasi dan lain sebagainya. Sebagian lainnya merupakan kata yang sama sekali berbeda untuk arti yang sama atau serupa. Kata ini bisa berupa serapan dari bahasa daerah atau asing, atau merupakan neologisme dalam perkembangan bahasa gaul.

Beberapa kosakata dalam bahasa gaul menghilangkan bunyi dari padanan bahasa bakunya.

Beberapa contoh penghilangan bunyi di awal kata:

Beberapa contoh penghilangan bunyi di tengah kata:

Beberapa contoh penghilangan bunyi di akhir kata:

Beberapa kosakata dalam bahasa gaul menyederhanakan bunyi diftong dari kata bahasa baku menjadi bunyi monoftong.

Monoftongisasi diftong ai menjadi e.

Monoftongisasi diftong au menjadi o.

Beberapa kosakata dalam bahasa gaul mengubah bunyi vokal dari padanan bahasa bakunya.

Beberapa contoh perubahan bunyi vokal u menjadi o.

Beberapa contoh perubahan bunyi vokal i menjadi e.

Beberapa contoh perubahan bunyi vokal a menjadi e pepet.

Beberapa kosakata dalam bahasa gaul mengubah bunyi konsonan dari padanan bahasa bakunya.

Beberapa kata dalam bahasa gaul merupakan bentuk metatesis dari bahasa baku. Meski demikian, umumnya bentuk aslinya juga diterima dalam bahasa gaul. Metatesis dalam bahasa gaul dapat dilakukan dengan membaca kata dari belakang, menyusun ulang urutan suku kata, menukar bunyi vokal dan lain sebagainya.[25]

*Tanda )- atau -( Digunakan Untuk Pengkoreksi Keluaran Vokal

Hentian glotis merupakan salah satu ciri yang dimiliki bahasa gaul, khususnya dalam bentuk "aslinya" yang dituturkan di Jakarta. Hentian glotis kadang ditulis menggunakan huruf k di akhir kata atau petik / ' / jika di tengah kata (jarang). Meski demikian hentian glotis lebih sering tidak ditulis dan hanya muncul ketika diucapkan.[25]

Hentian glotis yang biasanya ditulis ada di kata seperti, cowo-'k', cewe-'k', cue-k', bera-'k' dll.

Dalam bahasa gaul, terdapat sejumlah kata yang dihasilkan dari pemendekan dua kata atau lebih.

*tanda 'kutip' dan - strip ('ab'-cd-'efg') digunakan untuk pengkoreksi kata

Pemendekan suku kata:

Bahasa gaul secara terbatas juga mengenal produksi kata dengan menambahkan bunyi s di belakang kata atau suku kata.[26]

Pemberian imbuhan dalam bahasa gaul cukup berbeda dengan imbuhan yang umum dikenal dalam bahasa baku.

Awalan ke- dalam bahasa gaul setara dengan awalan ter- dalam bahasa baku.

Awalan nge- dapat digunakan seperti awalan me- dalam bahasa baku.

Sisipan -ok- warisan bahasa prokem juga kadang masih dijumpai dalam bahas gaul. Perlu diketahui bahwa sisipan ini tidaklah memberikan perubahan makna kata.

Leburan ng- digunakan di depan kata yang diawali vokal atau huruf k, digunakan seperti awalan me- dalam bahasa baku.

Leburan ny- digunakan di depan kata yang diawali vokal atau huruf s atau c, digunakan seperti awalan me- dalam bahasa baku.

Akhiran -in adalah salah satu fitur paling dikenal dalam bahasa gaul. Dalam bahasa Indonesia baku -in setara dengan akhiran -i atau -kan. Akhiran -in ditengarai merupakan pengaruh dari bahasa Bali dan Betawi.

Akhiran -an dapat berfungsi secara berbeda dengan akhiran -an dalam bahasa baku. Selain bisa membuat kata kerja menjadi kata benda, seperti kata buat menjadi buatan, akhiran -an juga dapat berarti lebih (sebagai pembanding sesuatu).

*Tanda (-(- atau -)-) Adalah Contoh Kata

Impitan ke- -an meski mirip dengan apa yang digunakan dalam bahasa baku, namun memiliki arti yang berbeda. Ke- -an dapat bermakna 'terlalu'.

Bahasa Indonesia gaul memiliki beragam partikel dan merupakan salah satu ciri utama dari bahasa ini. Sih, dong, tuh, dan deh merupakan sebagian dari partikel-partikel bahasa gaul yang dapat memberikan nuansa yang berbeda pada sebuah kalimat. Partikel-partikel ini, walaupun pada umumnya pendek, tetapi mampu menambahkan makna tertentu yang mungkin sulit disampaikan dengan bahasa baku. Kebanyakan partikel mampu memberikan informasi tambahan kepada orang lain seperti tingkat keakraban antara pembicara dan pendengar, suasana hati/ekspresi pembicara, dan suasana pada kalimat tersebut ketika diucapkan.

Beberapa partikel dalam bahasa gaul diambil dari kebiasaan dalam bahasa Betawi, di antaranya deh, dong, dan kok.[27]

Sejumlah partikel dalam bahasa gaul dijelaskan secara ringkas menggunakan kata "Dia datang":

Beberapa partikel juga dapat diletakkan di awal kalimat untuk arti yang berbeda.

Deh memiliki beberapa fungsi yang akan dijelaskan pada bagian berikut. Partikel ini tidak dapat dipakai di awal kalimat lengkap atau berdiri sendiri.[28][29]

Partikel dong digunakan sebagai penegas yang halus atau kasar pada suatu pernyataan yang akan diperbuat. Partikel ini tidak dapat dipakai di awal kalimat lengkap atau berdiri sendiri.[29][28]

Partikel halah biasanya digunakan untuk menyepelekan atau meremehkan sesuatu hal. Halah seringkali dihilangkan huruf h-nya menjadi alah.

Partikel kan merupakan kependekan dari kata 'bukan', tetapi tidak selalu digunakan sebagai kata bukan.[28][29]

Kek adalah pemendekan dari kata kayak. Selain berfungsi seperti kata kayak, kek juga memiliki fungsi partikel.

Partikel kok dapat diletakkan di banyak tempat dalam sebuah kalimat. Beberapa kemungkinan peletakan partikel kok dan perbedaan maknanya:[29]

Partikel lah dalam bahasa gaul berbeda dengan partikel lah dalam bahasa baku. Lah umumnya ditulis terpisah.[29]

Partikel loh juga bisa ditulis lo (ejaan KBBI) atau lho. Partikel ini bisa memberikan berbagai macam nuansa ekspresi, seperti kaget atau penekanan.[29]

Sih dapat memberikan nuansa makna yang cukup banyak dan fleksibel. Partikel ini tidak dapat dipakai di awal kalimat lengkap atau berdiri sendiri.[29]

Toh dapat digunakan untuk menegaskan maksud.

Tuh adalah variasi dari kata itu. Kadang tuh tidak berarti seperti kata asalnya.[29]

Ya di sini tidak selalu berarti persetujuan "iya". Partikel ya dalam bahasa gaul sering dipakai dan digunakan untuk berbagai macam keperluan.[29]

Beberapa partikel lainnya yang mungkin dipakai dalam sebuah perkataan bahasa gaul, tetapi tidak sesering partikel yang sudah dijelaskan:

Beberapa kata seru yang didapati dalam bahas gaul.

Kata seru dasar dapat digunakan mengekspresikan kemarahan, situasi bercanda dll.[30]

Selain 'eh' sebagai sebutan untuk orang kedua, partikel ini biasanya tidak dapat dipakai di akhir kalimat lengkap.

Digunakan untuk ekspresi marah, kesal, menggerutu dsb.[31]

Masa dapat digunakan untuk menyatakan keragu-raguan, ketidakpercayaan, atau kekecewaan.[30]

Nah biasanya digunakan untuk membuka topik atau pembicaraan baru, atau sebagai kata seru untuk meminta perhatian/menegaskan pembicaraan.[29]

Kata seru waduh dapat digunakan sebagimana kata aduh yang dapat menyatakan tidak sukaan, kebingungan, terkejut dll.[30]

Kata seru wah dapat digunakan untuk menyatakan ekspresi terkejut, kegembiraan dan kekaguman.[30]

Selalu menyatakan kekecewaan dan selalu digunakan di awal kalimat atau berdiri sendiri.

Bahasa gaul memiliki sejumlah pengisi linguistik yang berfungsi sebagai pengisi jeda pembicaraan: menandakan bahwa pembicaraan belum berakhir atau pembicara sedang berpikir/ragu.

Beberapa pengulangan kata dalam bahasa gaul memiliki perbedaan dengan bahasa baku. Contoh:

Serapan bahasa Inggris adalah salah satu penyumbang besar dalam perbendaharaan bahasa gaul. Kata-kata dalam bahasa Inggris kadang diubah sehingga memiliki ejaan yang sesuai dengan ejaan Indonesia atau dibiarkan dalam bentuk aslinya.[17] Beberapa serapan bahasa Inggris yang ejaannya disesuaikan:

bentuk aslinya, kata-kata bahasa Inggris sering diperlakukan selayaknya kata bahasa Indonesia, sehingga dapat diberi imbuhan. Contoh:[32]

Jika bahasa gaul dianggap memuat lebih banyak unsur bahasa Inggris daripada bentuk umumnya, bahasa ini bisa disebut sebagai bahasa Jaksel.[33]

Bahasa gaul mendapatkan cukup banyak kosakata bahasa-bahasa Tionghoa, khususnya bahasa Min Selatan.

Bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa daerah penyumbang kosakata terbesar terhadap bahasa gaul. Banyak di antaranya masuk ke perbendaharaan bahasa gaul melalui bahasa Betawi.

Beberapa kosakata bahasa Sunda yang mungkin dipakai dalam perbincangan dengan bahasa gaul.

Selain kosakata, fatis teh, atuh, heueuh (dieja heeh), mah (atau variasinya seperti ma) juga sering digunakan dalam bahasa gaul.

Bahasa gaul bukanlah bahasa Indonesia baku meskipun bahasa ini digunakan secara luas dalam kehidupan sehari-hari orang Indonesia. James Sneddon, bahasawan yang dikenal dengan penelitian terhadap bahasa Indonesia, mengungkapkan adanya gejala diglosia terhadap bahasa Indonesia. Ragam bahasa tinggi ditempati oleh bahasa Indonesia baku yang telah memiliki standardisasi, sedangkan ragam bahasa rendah ditempati oleh bahasa gaul Jakarta yang hingga saat ini tidak memiliki standardisasi.[7] Gejala penjenjangan bahasa Indonesia ini oleh Ben Anderson disebut sebagai gejala kramanisasi. Bahasa Indonesia yang mulanya egaliter karena tidak mengenal tingkatan bahasa, perlahan berubah menjadi bahasa yang terbagi menjadi dua laras, yakni bahasa krama yang "halus" dan bahasa ngoko yang "kasar". Bahasa Indonesia baku diandaikan sebagai bahasa krama yang tinggi, sopan dan formal, sedangkan bahasa gaul Jakarta diandaikan sebagai bahasa ngoko yang apa adanya, lugu, dan santai.[34][35]

Batas antara bahasa baku dan bahasa gaul tidak selalu kentara. Ada kalanya dalam suasana semi-formal, unsur-unsur bahasa gaul muncul dalam sebuah pembicaraan berbahasa baku. Misalkan dalam sebuah presentasi yang dihadiri oleh mitra kerja seumuran, pembicaraan mungkin hampir sepenuhnya dilakukan dalam bahasa baku, tetapi unsur bahasa gaul kadang akan muncul pada beberapa bagian supaya pembicaraan tidak terkesan terlalu kaku. Sebaliknya, unsur bahasa baku dapat juga hadir dalam pembicaraan santai berbahasa gaul. Hal ini berlaku selayaknya sebuah kontinum bahasa, penuturnya bisa memilih untuk berbicara pada titik mana antara ujung ekstrem bahasa baku dan ujung ekstrem bahasa gaul. Hal ini bergantung sepenuhnya pada pilihan pribadi penutur dalam menghadapi sebuah situasi sosial. Dalam tulisan bahasa baku, umumnya unsur-unsur bahasa gaul ditulis miring sebagaimana menulis unsur bahasa asing seperti bahasa Inggris. Ada kalanya, penulis juga menyertakan terjemahan atau padanannya dalam bahasa baku.[7]

Pemerintah melalui Badan Bahasa sering kali melarang atau tidak menganjurkan penggunaan bahasa gaul, dan mempromosikan bahasa Indonesia baku atau bahasa baku yang baik dan benar sebagai satu-satunya ragam bahasa Indonesia yang sah. Bahasa baku merupakan bahasa utama yang disokong pemerintah untuk penyelenggaraan pemerintahan, pendidikan, media massa, sastra, administrasi, dan hukum di Indonesia. Hal ini membuat bahasa Indonesia baku dianggap sebagai bahasa yang mekanis dan birokratis, kadang juga dikritik sebagai bahasa yang tidak punya jiwa atau tidak kaya rasa yang berjarak dengan penuturnya. Meskipun demikian pada tahun 1980-an, Anton Moeliono, mantan Kepala Badan Bahasa dan salah satu tokoh kunci pengembangan bahasa Indonesia, pernah mengakui secara pribadi tentang pentingnya bahasa gaul di samping bahasa baku. Ia menyadari bahwa bahasa Indonesia baku tidak memiliki ragam percakapan sehari-hari, sehingga bahasa gaul atau bahasa Jakarta dapat mengisi kekosongan ini. Ia juga menghendaki bahwasanya bahasa Jakarta sebaiknya tidak hanya digunakan di wilayah Jakarta saja, melainkan juga di berbagai wilayah lain di Indonesia sebagai bahasa percakapan antar orang Indonesia. Pendapat senada juga datang dari Harimurti Kridalaksana, seorang pakar bahasa dan sastra Indonesia, yang menyarankan pendekatan lebih positif terhadap bahasa gaul dan mengakui potensi penggunaan bahasa gaul dan bahasa baku yang melengkapi satu sama lain.[15][7][10][22][36]

Bahasa Indonesia ragam gaul adalah bahasa pertama yang diajarkan kepada anak-anak dalam keluarga penutur bahasa Indonesia. Orang tua tidak berbicara dalam bahasa baku di rumah. Penguasaan bahasa Indonesia baku baru terjadi ketika anak mempelajarinya di sekolah. Karena utamanya penguasaan bahasa Indonesia baku terjadi dalam ranah pendidikan formal, orang yang tidak mengenyam pendidikan atau tidak sepenuhnya turut serta dalam pendidikan menjadi kesulitan menggunakan bahasa Indonesia baku.[7] Tak jarang peserta didik merasa kebingungan karena bahasa Indonesia yang mereka dapatkan di sekolah (bahasa baku) dengan yang mereka jumpai sehari-hari (bahasa gaul) cukup berbeda.[37]

Bahasa gaul yang tidak terasosiasi dengan pendidikan formal di Indonesia mengakibatkan pengajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing sedikit atau sama sekali tidak menyertakan bahasa gaul. Bahasa gaul dianggap menyimpang dari bahasa baku yang baik dan benar. Buku-buku kursus bahasa Indonesia pun kebanyakan tidak mengajarkan laras bahasa gaul.[7] Hal ini sering kali membuat bingung orang asing yang sedang mempelajari bahasa Indonesia. Pertanyaan semacam "Mengapa di kelas saya diajari 'lelah', tetapi orang-orang yang saya temui menggunakan kata 'capek'?" mungkin lumrah ditemui dalam kelas-kelas bahasa Indonesia untuk penutur asing. Tidak jarang, meski telah menguasai bahasa Indonesia (baku), penutur asing tetap kesulitan berkomunikasi dengan orang Indonesia di lapangan yang sehari-harinya menggunakan bahasa gaul.[28] Pendapat ini diperkuat oleh André Möller, pemerhati bahasa Indonesia berkebangsaan Swedia, yang menyatakan bahwa salah satu kesulitan penutur asing dalam mempelajari bahasa Indonesia adalah perbedaan antara bahasa resmi (bahasa baku) dan bahasa sehari-hari (bahasa gaul). Perbedaan ini sangat kentara sehingga terkadang terasa seperti dua bahasa yang berlainan.[38]

Dari sebuah wawancara semi-terstruktur yang dilakukan terhadap 11 siswa BIPA UPI tahun ajaran 2013-2014 dari 6 negara yang berbeda (Australia, Jepang, Korea Selatan, Thailand, Tiongkok, dan Vietnam) didapati bahwa mayoritas siswa menganggap pengajaran bahasa gaul dapat menunjang keterampilan bahasa Indonesia mereka. Para siswa merasa bahasa gaul adalah bahasa komunikasi utama dalam percakapan sehari-hari di luar kelas. Selain itu, pengajaran tentang perbedaan penggunaan bahasa baku dan bahasa gaul dalam berbagai situasi sosial juga dianggap penting.[28]

Bahasa gaul, meski menyandang status non-baku dan tidak diakui pemerintah, memperlihatkan gejala menuju standardisasi. Bahasa ini cukup terdokumentasi serta memiliki ejaan dan tata bahasa yang konsisten. Pendapat tentang bahasa gaul sebagai bahasa yang tidak terstruktur atau bahasa yang kacau/rusak adalah sebuah kesalahpahaman. Walaupun demikian Badan Bahasa tidak menunjukkan ketertarikan mengkaji bahasa gaul, entah itu mencatat bahasa gaul ke dalam sebuah kamus ataupun membuat penelitian gramatika bahasa gaul. Bahkan dalam karya-karya tentang tata bahasa baku Indonesia, tidak disebut sama sekali mengenai keberadaan bahasa gaul.[28][7] Meski demikian sedikit dari kata-kata bahasa gaul telah dicatat ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan label bahasa cakap.[39]

Walaupun dalam tataran diglosia berada di bawah posisi bahasa baku, bahasa gaul tetap memiliki prestise dan nama baik di Indonesia karena terasosiasi dengan Jakarta yang urban, kaya, terdidik dan canggih. Bahasa gaul secara tidak langsung jadi memiliki "ragam standar"-nya, yakni bahasa yang dipakai oleh orang Jakarta. Ortografi bahasa gaul juga tidak luput dari kemungkinan pembakuan, seiring dengan penggunaan bahasa gaul dalam beragam terbitan majalah dan buku.[7]

Bahasa gaul dianggap sebagai salah satu dampak Jakartasentrisme terhadap daerah-daerah lain di Indonesia. Tayangan hiburan di televisi yang Jakartasentris membuat sebagian masyarakat di daerah memilih berbicara dalam bahasa gaul Jakarta, alih-alih bahasa daerahnya masing-masing, karena dianggap lebih keren atau lebih berprestise.[40] Bahasa gaul Jakarta disebut telah menggerus keberadaan bahasa Indonesia baku dan bahasa-bahasa daerah. Sebagian kalangan juga menganggap bahasa gaul mengancam keanekaragaman bahasa di Indonesia, terlebih bahasa daerah diberi label buruk, seperti kampungan atau norak, oleh pengguna bahasa gaul Jakarta.[41]

Bahasa gaul tidak hanya dikenal dan digunakan di wilayah Jakarta dan daerah-daerah lain di penjuru Indonesia, tetapi juga mulai dikenal oleh masyarakat Malaysia melalui produk budaya populer Indonesia seperti perfilman dan musik. Sebuah program radio di Kuala Lumpur misalnya diberi nama Carta Baik Banget yang menggunakan kata-kata khas bahasa gaul. Kata lo-gue yang selama ini biasa digunakan oleh kalangan Tionghoa Malaysia, saat ini juga mulai dipakai oleh kalangan Melayu Malaysia. Kata-kata lainnya seperti keren, ngobrol, berpacaran, juga mulai lazim dikenal dan dipakai masyarakat perkotaan Malaysia.[42]